MENYEMBAH
TUHAN DALAM KERENDAHAN
HATI
Pada masa kekaisaran Romawi, budak tidak lebih dari sebuah
‘barang hidup’. Ia memang manusia, tetapi nilainya tidak lebih dari sebuah
barang. Seorang ahli pertanian Romawi bernama Varro mengatakan ada tiga jenis
golongan alat pertanian; pertama, yang dapat bicara; kedua, yang tidak dapat
bicara; dan ketiga yang bisu. Golongan pertama adalah para budak; golongan
kedua adalah lembu, keledai dan golongan ketiga adalah alat-alat benda mati.
Dalam kehidupan sehari-hari bangsa Romawi kuno budak sama
sekali tidak dihargai. Budak yang sudah tua, sakit-sakitan atau dianggap sudah tidak
berguna bisa dibuang begitu saja oleh tuannya. Mereka berhak memperlakukan
sekehendak hati karena budak tidak lebih dari sebuah barang kepunyaan. Apapun
dan bagaimanapun tindakan terhadap budak adalah sah dan adil.
Tetapi Firman Tuhan mengisahkan peristiwa indah. Seorang
perwira yang terhormat dan berkedudukan tinggi. Seorang yang memiliki kuasa dan
wewenang penuh atas pasukan. Memperlakukan hambanya yang sakit keras tidak
dengan semena-mena. Tidak membuang hambanya. Sang perwira begitu sedih dan
mengusahakan apa saja bagi kesembuhan hambanya.
Sang perwira berkata kepada Yesus, “Tuan, janganlah bersusah-susah, sebab aku tidak layak menerima Tuan di
dalam rumahku; sebab itu aku juga menganggap diriku tidak layak untuk datang
kepada-Mu. Tetapi katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh” (Lukas
7:6-7). Dari sang perwira kita dapat meneladani:
Pertama,
mengasihi hamba
Rela menghadapi kesulitan demi
kesembuhan hambanya. Tidak memperlakukan hambanya seperti benda, melainkan
mengasihinya.
Kedua,
menghormati orang Yahudi
Pada umumnya, orang Yahudi
merendahkan orang kafir. Sebaliknya, orang kafir membenci orang Yahudi. Bangsa
Romawi memandang orang Yahudi sebagai bangsa gemar tahyul dan bodoh. Sang
perwira tidak memiliki rasa benci tersebut.
Ketiga,
rendah hati
Ia memahami bahwa berdasarkan
Taurat, seorang Yahudi dilarang keras memasuki rumah orang kafir. Ia juga tahu
bahwa seorang Romawi dilarang masuk ke dalam rumah orang Yahudi. Yesus adalah
orang Yahudi. Maka ia tahu diri, dengan tidak datang sendiri kepada Yesus. Ia
meminta sahabat-sahabat Yahudi untuk mengunjungi Dia. Seorang perwira yang
penuh kuasa telah menunjukkan kerendahan hati demi kasih kepada hambanya.
Keempat,
beriman
Imannya didasarkan atas
pengalamannya sendiri. “Sebab aku sendiri
seorang bawahan, dan dibawahku ada pula prajurit. Jika aku berkata kepada salah
seorang prajurit itu: Pergi!, maka ia pergi, dan kepada seorang lagi: Datang!,
maka ia datang, ataupun kepada hambaku: Kerjakanlah ini!, maka ia
mengerjakannya” (Lukas 7:8). Ia mengakui kewibawaannya sebagai seorang
panglima dapat membawa hasil, apalagi kewibawaan Yesus? Ia datang dengan
keyakinan penuh, “Tuhan aku tahu bahwa Engkau dapat melakukan hal ini.”
Keindahan hidup sang perwira bukan dari kedudukan dan kuasa,
melainkan dari kasih, iman dan kerendahan hati. Kisah ini mengajarkan kepada
kita bahwa kasih itu meniadakan ketidak-adilan. Kerendahan hati menghapuskan
jarak. Dan iman akan selalu membawa orang dekat kepada Yesus. Mukjizat bukan
perkara yang mustahil bagi yang memiliki kasih, iman dan kerendahan hati. Amin.